Awalnya karena suka. Lalu saya sadar, selama ini saya telah gagal pikir.
Saya baca poster Leadership di linimasa Linkedin. Ia tanya, saya kutip verbatim: How do you know you’ve become a true leader? Ia jawab sendiri: One, You don’t try to be right; you try to be clear. Two, You try not to have the last word. Three, You no longer try to show that it was your idea. You empower other people to own the idea.
Saya unduh dan bagikan poster itu ke satu teman sejawat. Kami pernah ngobrol, bagusnya mimpin team bagaimana? Kata-kata tadi dengan indah membungkus hasil diskusi kami. Tapi tulisan ini bukan tentang isi poster itu.
Saya gatal-gatal, alergi, kalau baca tulisan-tulisan Leadership. Saya skeptik dengan kisah kepemimpinan yang subjektif dan kontekstual. Anekdot-anekdot yang mereka ceritakan. Data tebang pilih untuk memuluskan jalan cerita. Dan, laiknya ahli nujum, Anda mendapati kata-kata mereka mempesona (ya, Anda benar, saya teringat Jack Welch).
Nah, di sini gagal pikir saya. Saya sudah menolak pesan penting karena saya tidak suka si pembawa berita. Analoginya begini: saya menolak nasihat seorang perokok untuk berhenti merokok, karena kata dia, merokok menyebabkan kanker. Entah ia perokok atau tidak, data menunjukkan kebiasaan merokok menyebabkan kanker paru. Nasihat dia valid.
Juga, dengan membagikan poster tersebut, padahal sebelumnya saya gatal-gatal kalau baca artikel Leadership, saya gagal pikir lagi karena hanya menyukai apa yang ingin saya dengar, terlepas apakah pesan itu benar atau tidak.
Benar, ada nasihat yang sudah jadi aksioma. Tantangannya, bagaimana kita tahu itu benar, dan masih valid saat ini? Karena subjektif dan kontekstual, pokok-pokok pikiran tentang Leadership kadang bertentangan, dan berbahaya jika Anda terapkan (termasuk tulisan ini).
Ada banyak jalan menuju Roma. Anda harus pilih jalan Anda sendiri. Anda bisa belajar dari kisah perjalanan para jenderal ini, bagaimana mereka dengan pawai kemenangan memasuki Roma; tapi sadar bahwa jalan yang mereka tempuh mungkin saat ini tidak ada lagi. Bahwa pertempuran Anda saat ini mungkin tak sama dengan pertempuran yang mereka menangkan.
Kita akan membuat kesalahan: ada informasi yang mestinya kita dengarkan tapi kita abaikan karena sikap kritis kita. Itu harga yang harus kita bayar demi membuat keputusan yang berdasarkan data. Namun, alternatif ini masih lebih baik daripada menelan mentah-mentah pesan yang cocok dengan lidah kita.
Tak ada keputusan seratus persen benar. Dalam ilmu Data Science, kalau akurasi model Anda seratus persen itu artinya overfitting, dan saya pasti akan curiga dengan model Anda.
Istilahnya, kita harus memaksimalkan true positive dari informasi yang kita pakai, dan meminimalkan false negative dan kesalahan kognitif dari apa pun yang menjadi masukan pengambilan keputusan kita. Ini harga yang harus kita bayar untuk tetap waras ketika diterjang tsunami informasi, banjir fake news dan badai alternative facts seperti saat ini.
*****
(Jakarta, 24 Juli 2021)